Hari-hari ini banyak perbincangan tentang tingginya harga minyak goreng. Ketika penulis sedang duduk antri berkumpul bersama para pasien dan pendamping mereka untuk terapi di sebuah tempat pijat, mereka berbincang-bincang tentang mahalnya minyak goreng. Percakapan pun tampak seru tentang harga minyak.
Beberapa hari yang lalu, di sebuah minimarket ada seorang ibu mengambil sebotol minyak, lalu ia membawanya ke kasir. Lalu petugas di kasir berkata, “Bu, ini minyak yang harganya mahal ya!”. Seorang ibu tersebut segera mengambil kembali minyak yang ingin ia beli dari tangan kasir tersebut. Ia kembalikan ke etalase lagi dan mengurungkan niatnya untuk membeli minyak yang mahal itu.
Di sebagian grup Watts App, tidak sedikit yang mengeluhkan tentang mahalnya minyak. Padahal minyak adalah kebutuhan masyarakat setiap hari. Selain itu, makanan yang sering digemari oleh banyak orang adalah gorengan.
Ketika menghadapi fenomena seperti ini, muncul pertanyaan: bagaimana solusi menghadapi mahalnya minyak goreng?
Pada kesempatan kali ini, penulis ingin menyampaikan beberapa hal yang sudah sepantasnya kita ingat kembali berkaitan dengan hal tersebut:
1. Mahalnya Minyak Telah Tertulis di Lauhul mahfudz.
Apa saja yang menimpa manusia seperti bencana alam, kecelakaan, mahalnya harga barang dan sebagainya telah ditulis dalam lauhul mahfudz. Penulisan tersebut telah ada sebelum manusia diciptakan. Bahkan penulisan tersebut terjadi sebelum diciptakan langit dan bumi. Allah telah berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang yang menimpa dirimu sendiri semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauhu Mahfudz) sebelum kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah[1].
Dalam hadits Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda:
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
Lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi, Allah telah menulis takdir-takdir para makhluk-Nya[2].
Dari dasar tersebut diketahui bahwa segala sesuatu yang terjadi pada saat ini telah tertulis di sisi Allah. Apa saja yang ada pada masa sekarang ini merupakan bentuk wujud dari ketetapan Allah yang sudah ditulis di Lauh Mahfudz. Termasuk mahalnya minyak goreng telah diketahui oleh Allah sebelum terjadi. Hal itu karena Allah adalah Al ‘Aliim (Dzat yang Mahamengetahui segala sesuatu). Dia mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang sedang terjadi, apa yang akan terjadi dan apa yang tidak terjadi bagaimana kejadiannya sekiranya terjadi.
2. Bersyukur bahwa yang mahal hanyalah minyak goreng.
Alhamdulillah, yang mahal harganya adalah minyak goreng. Mengapa demikian? Karena Anda dapat membayangkan sekiranya yang mahal adalah oksigen.
Setiap saat orang membutuhkan oksigen untuk bernafas. Seandainya benda yang mahal adalah oksigen, maka berapa total nominal rupiah yang harus dikeluarkan untuk dapat bernafas setiap hari dengan lancar? Alangkah banyak beaya yang harus dibayarkan untuk bisa bernafas dengan baik seandainya harus membeli oksigen secara terus-menerus.
Demikianlah ketika kita tertimpa sesuatu, maka kita tetap bisa bersyukur. Ini dapat ditempuh ketika mengingat bahwa di sana ada musibah yang lebih berat daripada apa yang sedang menimpa kita. Dengan itu, maka seseorang dapat bertahmid di tengah kondisi musibah sedang melanda. Al-Qadhi Syuraih berkata:
إِنِّي لأُصَابُ بِالمُصِيْبَةِ، فَأَحْمَدُ اللهَ عَلَيْهَا أَرْبَعَ مَرَّاتٍ، أَحْمَدُ إِذْ لَمْ يَكُنْ أَعْظَمَ مِنْهَا، وَأَحْمَدُ إِذْ رَزَقَنِي الصَّبْرَ عَلَيْهَا، وَأَحْمُدُ إِذْ وَفَّقَنِي لِلاسْتِرْجَاعِ لِمَا أَرْجُو مِنَ الثَّوَابِ، وَأَحْمَدُ إِذْ لَمْ يَجْعَلْهَا فِي دِيْنِي.
Sesungguhnya aku benar-benar tertimpa musibah, lalu aku memuji Allah sebanyak empat kali:
1. Aku memuji Allah karena musibah itu tidak lebih berat dari yang ada.
2. Aku memuji karena Allah memberikan rizki kepadaku berupa kesabaran.
3. Aku memuji karena Allah memberiku taufiq untuk membaca istirja’ karena ada pahala yang aku harapkan.
4. Aku memuji karena tidak menjadikan musibah itu menimpa agamaku[3].
Dengan mengingat poin-poin ini, kita dapat tetap bertahmid di tengah musibah yang menimpa. Seseorang akan tetap bisa bersikap bijak meskipun sedang mengalami mahalnya minyak. Dengan mengingat wasiat ini pula, kita tetap berusaha bersyukur, meskipun sedang dalam keadaan jatuh tersungkur.
3. Masih ada cara masak yang lain.
Memasak dengan menggoreng menggunakan minyak goreng adalah bukan satu-satunya cara menjadikan makanan itu matang. Ada cara-cara lain untuk menjadikan makanan itu dapat disantap tanpa menggunakan minyak goreng, misalnya dengan merebus, memanggang, mengukus dan sebagainya. Ini juga merupakan nikmat yang sudah sepantasnya kita syukuri. Sekiranya menggoreng adalah satu-satunya cara untuk memasak, maka sebagian dari kita kita tentu akan merasa kesulitan di tengah mahalnya minyak saat ini.
Ketika suatu makanan dapat terhidang, maka di dalamnya terkandung banyak nikmat dari Allah ta’ala. Di antara nikmat tersebut adalah berupa adanya orang yang menanam tumbuhan yang menjadi bahan utama makanan tersebut. Ada nikmat yang berupa kemudahan dalam memanennya. Ada nikmat yang berupa adanya orang yang mengolahnya. Lalu ada juga orang yang memasaknya. Kemudian ada orang yang menghidangkannya di hadapan kita. Ini semua adalah termasuk dari sekian nikmat Allah yang pantas kita syukuri. Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan:
إِنهُ لاَ يُقَدَّمُ الطَّعَامُ بَيْنَ يَدَيْكَ وَإِلاَّ وَفِيْهِ ثَلاَثُمِائَةٍ وَسِتُّوْنَ نِعْمَةً
Sesungguhnya tidaklah suatu makanan dihidangkan di depamu, melainkan di dalamnya ada 360 nikmat[4].
Tatkala mengingat nikmat Allah ini, maka hati kita akan menjadi tenang. Jiwapun tetap lapang menghadapi mahalnya barang yang satu ini. Dengan itu pula, tahmid dapat menjadi bacaan kita dalam keadaan yang kita sukai maupun yang tidak kita sukai. Hal itu sebagaimana dalam hadits Aisyah – radhiyallahu ‘anha – berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا رَأَى مَا يُحِبُّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ وَإِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ.
Dari Aisyah – radhiyallahu ‘anha – berkata: Dahulu Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam apabila melihat sesuatu yang beliau sukai membaca: Segala puji bagi Allah yang dengan nikma-nikmat-Nya kebaikan-kebaikan menjadi sempurna. Dan apabila melihat sesuatu yang tidak beliau sukai, maka beliau membaca: Segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan[5].
Semoga Allah memberikan kepada kita taufiq untuk selalu bersyukur dalam setiap keadaan. Mudah-mudahan dengan syukur yang selalu kita panjatkan menjadi sebab bertambahnya nikmat. Semoga nikmat yang kita dapat akan mengantarkan kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
[1] QS. Al-Hadid: 22.
[2] HR. Muslim.
[3] Siyar A’lam Nubala’ (IV/105).
[4] Asy-Syarhul Mumti’ Syarh Zadil Mustaqni’, (I/99).
[5] Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah, No. 265.
____
Oleh : Ustadz Muhtar Arifin Lc. MHI
____
Artikel ini dimuat di Retizen Republika.
https://retizen.republika.co.id/posts/80632/berusaha-meredam-gejolak-dengan-mahalnya-minyak
____
Info media MAA
https://berbagi.link/maalfurqonmgl